Sabtu, 01 Desember 2012

METODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR’AN A. Pengertian Metodologi Tafsir 1. Secara Etimologi Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method dan bangsa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti. “ cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud ( dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya ); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan. “ 2. Secara Terminologi Metodelogi tafsir adalah ilmu tentang metode menafsirkan al-Qur’an. Metode tafsir adalah cara dalam menafsirkan al-Qur’an. 3. Perkembangan Metodelogi Tafsir Mulanya tafsir muncul hanya berupa riwayat-riwayat dari Nabi Saw., kemudian terus menerus berkembang seiring dengan kemajuan keilmuan dan peradaban islam. Kitab-kitab tafsir yang muncul sejak era klasik sampai kontemporer dari segi metodologi yang di pakai terpetakan kedalam empat jenis, tahlili, ijmali, muqarran dan maudhu’i. 4. Posisi Metodelogi Tafsir dalam ilmu Tafsir Telah disinggung bahwa metodologi tafsir merupakan bagian dari Ilmu Tafsir, atau populer disebut “ Ulum Qur’an”, namun belum dijelaskan posisinya dalam tatanan ilmu tafsir itu. Posisi tersebut harus jelas agar diketahui urgensinya. Apabila diamati secara seksama,akan tamapak kepada kita bahwa metodologi tafsir merupakan salah satu substansi yang tidak bisa terpisahkan dari ilmu tafsir. B. Pembagian Metode tafsir 1. Tafsir Analitis ( Tahlili ) a. Pengertian metode Analitis ( Tahlili ) Yang dimaksud dengan metode analitis ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat ditafsirkan iu serta menerangkan makna-makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. b. Ciri-ciri metode Analitis ( Tahlili ) Dalam metode ini, biasanya para mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh al-qur’an, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya ayat, kaitannya dengan ayat yang lain., baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat penafsiran Nabi, sahabat, para tabi’in dan ahli tafsir Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur ( riwayat ) atau ra’y ( pemikiran ). Diantara kitab tafsir tahlili yang mngambil bentuk alma’tsur ialah jami’ al-Bayan’an Tawil a’yi al-Qur’an karangan Ibnu Jarir al-Thabari ( w. 310 H.), Ma’alim al-Tazil karangan al-Baghawi ( w. 516 ). Dan diantara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ra’y banyk sekali antara lain : Tafsir al-Khazin karangan al-Khazin (w. 741), Al-Kasysyaf karangan Zamakhsyari ( w. 538 H ), Tafsiral-manar karangan Muhammad Rasyid Ridha ( w 1935 H. ), dan lain-lain. Jika diperhatikan, pola penafsiran yang diterapkan oleh para pengarang kitab-kitab Tafsir yang dinukil diatas telihat dengan jelas, mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung didalam ayat al-qur’an secara komprehensif dan menyeluruh baik yang berbentuk al-mat’sur maupun al-ra’y. Dalam penafsiran tersebut, al-qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah secara berurutan, serta tidak ketinggalan menrangkan asbabul nuzul dari ayat-ayat yang di tafsirkan. 3 c. Kelebihan dan kekurangan metode Tahlili ( Analitis )  Kelebihan metode Tahlili : • Ruang lingkup yang luas • Memuat berbagai ide  Kekurangan metode Tahlili : • Menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial • Melahirkan penafsiran subjektif • Masuk pemikiran israilliat 2. Metode Ijmali ( Global ) a. Pengertian Metode Ijmali Yang dimaksud metode ijmali atau global ialah menjelaskan ayat-ayat al-qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menuruti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Disamping itu, penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa qur’an sendiri. Adapun kitab-kitab tafsir yang popular menggunakan metode ini diantaranya adalah Tafsir Al-jalalain karya al- Mahalli dan al-Suyuthi. b. Ciri-ciri metode ijmali Dalam sub bahasan ini sengaja tidak di bandingkan metode global dengan metode komperatif dan maudhu’i . karena sudah jelas-jelas yang terakhir ini sudah jauh sekali polanya dari metode global. Hal itu disebabkan metode komparatif didominasi oleh perbandingan, sedangkan metode tematik berangkat dari judul yang telah ditentukan. c. Kelebihan dan kekurangan metode ijmali Apa dan bagaimanpun bentuk metode pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, karena ini merupakan produk ijtihad, yakni hasil pikiran manusia. Manusia, meskipun dikaruniai kepintaraan yang luar biasa jauh dari kemampuan penalaran yang dimiliki oleh makhluk-makhluk lain., mereka tetap mempunyai kelemahan dan keterbatasan yang tidak bisa mereka hindarkan seferti adanya sifat lupa, lalai dan sebagainya. Dengan demikian, setiap produk manusia baik berbentuk fisik maupun non fisik pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Adapun kelebihan Metode ijmali : 1. Praktis dan mudah dipahami 2. Bebas dari penafsiran israiliyat 3. Akrab dengan bahasa Al-qur’an Adapun kekurang metode ijmali : 1. Menjadikan petunjuk al-qur’an bersifat parsial ( sebagian ) 2. Tak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai. 3. Tafsir Muqqoran ( Perbandingan ) 1. Pengertian Tafsir komparatif a. Pengertian metode Komparatif Para ahli tidak berbeda pendapat mengenai definisi metode ini. Dari berbagai literatur yang ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud metode komparatif adalah : 1. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda-beda bagi satu kasus yang sama. 2. Membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan. 3. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an. Adapun beberapa pendapat mengenai pengertian tafsir komparatif, diantaranya : • Menurut al-Farmawi, metode komparatif adalah metode penafsiran yang bersifat perbandingan dengan mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis oleh para mufassir. Dalam hal ini, seorang mufassir menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, lalu dikaji dan diteliti penafsiran para pakar tafsir menyangkut ayat-ayat tersebut dengan mengacu pada karya-karya tafsir yang mereka sajikan, apakah mereka itu penafsir dari generasi salaf maupun khalaf, apakah tafsir mereka itutafsir bi al-ma’thur maupun tafsir bi al-ra’y. • Quraish Shihab mendefinisikan metode ini dengan definisi yang lebih spesifik dari definisi di atas, yaitu metode komparatif adalah “membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama.” Termasuk dalam obyek pembahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadith-hadith Nabi SAW., yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Dapat disimpulkan bahwa metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat tapi melainkan juga memperbandinkan ayat dengan hadits serta membandingkan para mufasir dalam menafsirkan suatu ayat. b. Ciri-ciri metode Komparatif Perbandingan adalah ciri utama dalam metode komparatif. Disinilah letak salah satu perbedaan prinsipal antara metode ini dengan metode-metode yang lain. Hal itu disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam membandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits adalah pendapat para ulama tersebut dan yang ketiga adalah pendapat para ulama itulah yang menjadi sasaran dalam menafsirkan. c. Luang lingkup metode komparatif 1. Perbandingan Ayat dengan Ayat 1.1. Redaksi yang berlebih dan berkurang • Menghimpun redaksi yang mirip • Perbandingan redaksi yang mirip • Analisis redaksi yang mirip • Perbandingan pendapat para mufasir 1.2. Perbedaan Ungkapan • Menghimpun redaksi yang mirip • Perbandingan redaksi yang mirip • Analisis redaksi yang mirip • Perbandingan pendapat para mufasir 2. Perbandingan Ayat dengan Hadits • Menghimpun teks ayat dan hadits • Perbandingan antara kedua teks ayat dan hadits • Perbandingan antara berbagai pendapat mufasir 3. Perbandingan pendapat mufasir Dalam metode komparatif ini, pendapat para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran diperbandingkan. Apa lagi ulama-ulama yang panatik terhadap suatu madzhab. Metode ini lah yang memperbandigkan pendapat-pendapat para mufasir dalam menafsirkan ayat demi ayat, ayat dengan hadits. 4. Metode Tematik ( Maudhu’I ) 1. Pengertian tafsir metode tematik ( Maudhu’I ) Kata maudhu’i berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan dan membuat-buat. Arti maudhu’i yang dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul atau topik atu sektor, sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan ayat-ayat Alquran yang mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhu’i yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’ yang berarti hadis yang didustakan/dipalsukan/dibuat-buat. Metode tematik adalah metode tafsir yang membahas ayat-ayat al-qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayatyang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nujul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argument itu berasal dari al-qur’an, hadits, maupun pemikiran rasional. 2. Sejarah Tafsir Tematik Dasar-dasar tafsir maudhu’i telah dimulai oleh Nabi SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur. Seperti yang dikemukakan oleh al Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir maudhu’i dalam bentuk awal. Tafsir-tafsir buah karya para ulama yang kita ketahui sampai sekarang ini kebanyakan masih menggunakan metode tafsir al-tahlily yaitu menafsirkan ayat-ayat Alquran dalam kitab-kitab mereka, ayat demi ayat, surat demi surat secara tertib sesuai dengan urutan adanya ayat-ayat itu dalam mushaf, tanpa memperhatikan judul/tema ayat-ayat yang ditafsirkan. Hal itu umumnya disebabkan (1) karena dahulu pada awal pertumbuhan tafsir, mereka masih belum mengambil spesialisasi dalam ilmu-ilmu pengetahuan tertentu, yang memungkinkan mereka untuk menafsirkan ayat-ayat al¬qur’an secara tematik/topikal atau sektoral, (2) karena mereka belum terdesak untuk mengadakan tafsir maudhu’i ini, disebabkan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang hafal seluruh ayat Alquran, dan sangat menguasai segala segi ajaran lslam sehingga mereka mampu untuk menghubungkan ayat satu dengan ayat yang lain yang sama-sama membicarakan judul/topik yang satu. 3. Kitab- kita Tafsir Metode Tematik Adapun kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode tematik adalah : 1. Al- Insan fi Al-Qur’an, karya Mahmud al-‘Aqqad 2. Al- Marat fi Al- Qur’an, karya Mahmud al-‘Aqqad 3. Al- Riba fi Al-Qur’an, karya al-Maududi 4. Pembagian metode tafsir tematik Metode tafsir tematik terbagi kedalam dua bagian : 1. Menafsirkan dalam satu surah 2. Menafsirkan ayat-ayat yang dihimpun dari berbagai surah 5. Ciri-ciri metode tematik 1. Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut sesuai dengan kronologi urutan turunnya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya ayat yang mansukh, dan sebagainya. 2. Menelusuri latar belakang turunnya ( asbab nuzul ) ayat-ayat yang telah dihimpun – ( kalau ada ) 3. Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dari ayat tersebut, terutama kosakata yang menjadi permasalahan pokok dalam ayat ini. Kemudian mengkajinya dari semua aspek yang berkaitan dengannya, seperti bahasa, budaya, sejarah, munasabat, pemakaian kata ganti dhamir, dan sebagainya. 4. Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufasir, baik yang klasik maupun kontemporer. 5. Semua itu dikaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar, serta didukung oleh fakta kalau ada dan argument-argumen dari al-qur’an hadits atau fakta-fakta sejarah yang dapat ditemukan. Artinya, mufasir selalu menghindarkan dari pemikiran-pemikiran yang bersifat subjektif. Hal itu dimungkinkan bila ia membiarkan al-Qur’an membicarakan suatu kasus tanpa diintervensi oleh pihak-pihak lain di luar al-Qur’an, termasuk penafsir sendiri. 6. Kekurangan dan Kelebihan metode tematik Adapun kelebihan metode ini, diantaranya : 1. Menjawab tantangan zaman 2. Praktis dan sistematis 3. Dinamis 4. Membut pemahaman menjadi utuh Adapun kekurangan metode ini, diantaranya : 1. Memenggal ayat al-qur’an 2. Membatasi pemahaman ayat 7. Urgensi Mempelajari Metode tematik Bila dicermati, dalam metode tafsir maudhu’i akan diperoleh pengertian bahwa metode ini merupakan usaha yang berat tetapi teruji. Dikatakan berat, karena mufassir harus mengumpulkan ayat dalam satu tema dan hal-¬hal yang berhubungan dengan tema tersebut. Dikatakan teruji, karena memudahkan orang dalam menghayati dan memahami ajaran Alquran, serta untuk memenuhi menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di zaman ini. Begitu pentingnya metode ini, Abdul Djalal menyebutkan faedah metode ini yaitu : 1. Akan mengetahui hubungan dan persesuaian antara beberapa ayat dalam satu judul bahasan, sehingga bisa menjelaskan arti dan maksud-maksud ayat-ayat A1-qur’an dan petunjuknya, ketinggian mutu seni, sastra dan balghahnya. 2. Akan memberikan pandangan pikiran yang sempurna, yang bisa mengetahui seluruh nash-nash Alquran mengenai topik tersebut secara sekaligus, sehingga ia bisa menguasai topik tersebut secara lengkap. 10 3. Menghindari adanya pertentangan dan menolak tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang, yang mempunyai tujuan jahat terhadapAlquran, seperti dikatakan bahwa ajara Alquran bertentangan dengan ilmu pengetahuan, 4. Lebih sesuai dengan selera zaman sekarang yang menuntut adanya penjelasan tuntutan-tuntutan Alquran yang umum bagi semua pranata kehidupan sosial dalam bentuk peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang sudah difahami, dimanfaatkan dan diamalkan, 5. Mempermudah bagi para muballigh dan penceramah serta pengajar untuk mengetahui secara sempurna berbagai macam topik dalam Alquran, 6. Akan bisa cepat sampai ke tujuan untuk mengetahui atau mempelajari sesuatu topik bahasan aI-qur’an tanpa susah payah, 7. Akan menarik orang untuk mempelajari, menghayati dan mengamalkan isi Al¬qur’an, sehingga Insya Allah tidak ada lagi semacam kesenjangan antara ajaran-ajaran Alquran dengan pranata kehidupan mereka. 8. Silabi pelajaran tafsir di madrasah-madrasah dan silabi mata kuliah tafsir di fakultas-fakultas, bisa dijabarkan dalam buku-buku pelajaran sehingga menunjang pendidikan yang merupakan program nasional. Menurut al-Zahabi bahwa telah terjadi kesalahan pada tafsir bi al-ro’yu antara lain (1) Kecenderungan mufassir terhadap makna yang diyakininya tanpa melihat petunjuk dan penjelasan yang dikandung dalam lafaz-lafaz al¬qur’an tersebut, dan (2) Kecenderungan mufassir untuk semata-mata memperhatikan lafaz dan maknanya yang bisa difahami oleh penutur bahasa Arab tanpa memperhatiakn apa yang sebenarnya dikehendaki oleh yang berbicara dengan Alqur’an tersebut, yang dibicarakan olehNya dan konteks kalimatnya. Oleh karenanya oleh Mursi Ibrahi mmengemukakan bahwa perlunya mufassir mengumpulkan nash-nash Alquran yang berhubungan dengan judul yang dibahas. Dari sini kita melihat bahwa tafsir maudhu’i itu penting artinya. Disamping banyak faedah tafsir maudhu’i, juga terdapat kekeliruan menafsirkan Alquran yaitu karena dalam m

Selasa, 28 Agustus 2012

HUKUM WADH'I DAN KENDALA PELAKSANAANNYA

HUKUM WADH’I DAN KENDALA PELAKSANAANNYA A. Pengertian Hukum Wadh’I Secara etimologi kata Wadh’I berasal dari bahasa arab yaitu kata وضعى yang berarti posisi, tempat atau letak. Sedangkan pengertian wadh’I secara terminologi adalah : الحكم الوضعي : هو خطا ب الله تعلى الوارد يجعل الشي ء سببا او شرطا او منعا او صحيحا او فا سدا او عزيمة او رخصة “ Hukum wadh’I adalah ketetapan Allah yang menjadikan sesuatu sebab, syarat, mani, sah, fasid, azimah atau rukhsah. B. Pembagian Hukum Wadh’I Dalam pembagian hukum wadh’I terdapat beberapa pendapat : 1. Pendapat Syekh Abdul Wahab Kallaf Menurut Syekh Abdul Wahab Kallaf dalam kitabnya yang berjudul “ Ushul fiqih “ menyebutkan : Hukum wadh’I itu terbagi atas lima bagian. Ditetapkan dengan suatu ketetapan bahwa hukum ini ada kalanya menjadikan sesuatu itu menjadi sebab bagi sesuatu, atau syarat, atau diperbolehkan rukhsah ganti azimah. Sahih atau tidak sahih. 2. Pendapat Muhammad Abu Zahro dalam kitabnya yang berjudul “ Ushul Fiqih “, membagi hukum wadhi kedalam tiga bagian : والحكم النو ضعى بمقتضى هذا ينقسم الى ثلا ثة اقسام : سبب, وشرط, ومانع Artinya : “ Hukum wadhi terbagi kedalam tiga bagian, yaitu sebab, syarat dan mani. Adapun sah dan batal termasuk kedalam bagaian Mani, begitu juga dengan Rukhsah dan Azimah. Adanya ikhtilaf atau perbedaan para ulama mengenai pembagian hukum wadh’I, ada yang menyebutkan tiga, ada juga empat bahkan lima bagian. Namun adpun asal pembagian hukum wadh’I ialah terbagi kedalam tiga bagian, yaitu : sebab, syarat dan mani.Begitu pula dengan bathal dan fasad ada ulama yang menyamakan antara keduanya ada pula yang membedakan antara bathal dan fasad. Abu Hanifah membedakan antara bathal dengan fasad. Bathal menurut Abu Hanifah adalah apabila sesuatu yang terlarang itu termasuk bagian atau menyangkut asal perbuatan itu sendiri, seperti melakukan shalat tanpa ruku’, atau menjual binatang yang masih dalam kandungan induknya. Sedangkan fasad adalah bila yang terlarang itu menyangkut sifat yang terkandung dalam perbuatan itu, jadi hal ini bukan menyangkut asalnya. Misalnya, melakukan puasa di Hari Raya, karena terkandung dalam Hari Raya sifat menerima tamu. Bila puasa pada hari itu berarti ada unsur menolak tamu. a. Pembagian Hukum Wadh’I 1. Sebab Sebab menurut bahasa berarti “ sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain. Menurut istilah ushul fiqih, seferti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, sebab berarti: ما الشرع معرفا لحكم شرعي , بحيث يوجد هذا الحكم عند وجوده Artinya : “ yaitu sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda tidak adanya hukum.” Sebab terbagi kedalam dua bagian : 1. Sebab yang bukan berasal dari perbuatan Mukallaf Sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukalaf (manusia) adalah sebab yang dijadikan oleh Allah sebagai tanda atas wujudnya hukum. Seperti adanya waktu merupakan sebab bagi wajibnya shalat ; keadaan terpaksa sebab merupakan sebab diperbolehkannya makan bangkai, dan adanaya kekhawatiran terjerumus dalam perzinaan bagi orang yang telah mampu berkeluarga merupakan sebab bagi wajibnnya nikah begitu juga seterusnya. Masing-masing “ sebab “ ini bukanlah berasal dari diri manusia, bahkan diantarannya merupakan cobaan atau ujian yang ditimpakan oleh Allah. 2. Sebab yang berasal dari perbuatan Mukalaf Sebab yang ada dalam jangkauan manusia adalah perbuatan manusia mukalaf yang yang oleh Allah dijadikan sebab timbulnya hukum. Seperti berpergian jauh bagi orang yang sedang berpuasa, merupakan sebab diperbolehkan berbuka, akad nikah merupakan sebab dihalalkannya berkumpul. Sebab yang berasal dari perbuatan mukalaf terbagi tiga bagian, yaitu : - Perbuatan yang diperintahkan ( perbuatan yang dituntut harus dilakukan ) - Perbuatan yang harus ditinggalkan - Perbuatn yang boleh dilakukan Adapun contoh-contoh sebab : 1. Tindakan perzinaan menjadi sebab ( alasan ) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya,. 2. Keadaan gila menjadi sebab ( alasan ) bagi keharusan ada pembimbingnya. 3. Tindakan perampokan sebagai bagi kewajiban mengembalikan benda yang di rampok kepada pemiliknya. 3. Syarat Secara etimologi syarath (لشرط ) yang dalam bahasa Indonesia disebut “ Syarat” berarti alamah yang berarti petanda, secara terminology, para ulama ushul fiqih merumuskannya dengan : ما يتوقف وجودا شرعيا على وجوده, ويكون خارجا عن حقيقته , ويلجم من علمه عدم الحكم Artinya : “ sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar‘I dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya hukum pun tidak ada. “  Pembagian Syarat Para ulama membagi syarat kedalam tiga macam : - Syarat Aqli Seperti kehidupan adanya syarat untuk dapat mengetahui. Adanya faham menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum. - Syarat ‘Adi Artinya sesuatu yang berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku, seperti bersentuhannya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat berlangsungnya kebakaran. - Syarat Syari Yaitu syarat yang berdasarkan penetapan syara, seperti sucinya badan menjadi syarat untuk shalat. Nisab menjadi syarat wajibnya zakat, bentuk yang ketiga inilah yang menjadi pokok pembahasan disini. 4. Mani Secara etimologi, mani berarti al-kaff’an al-syar’I artinya berhenti dari sesuatu, yang dalam bahasa Indonesia ‘ halangan’. Sedangkan, secara terminologi para ulama ushul fiqih merumuskan dengan : وصف ظا هر منضبط يستلزم وجوده عدم الحكم أوعدم السبب Artinya : “ Sifat dzahir yang dapat diukur yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau ketiadaannya sebab “ Maksudnya, dengan adanya mani, maka hukum menjadi tidak ada, tetapi tidak mesti keberadaan dan ketiadaannya adanya hukum. Misalnya, akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya sebagai sebab bagi waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa terhalang disebabkan oleh suami misalnya membunuh istrinya. Tidakan pembuhunuhan tersebut menjadi penghalang suami untuk mewarisi istrinya. Dalam hadis dijelaskan bahwa tidak ada waris mewarisi antara pembunuh dan terbunuh. a. Pembagian Mani Para ulama ushul fiqih mngemukakan bahwa mani dari sisi pengaruhnya kepada hukum dan sebab, terbagi kedalam dua macam: 1. Mani al-Hukum Mani al-Hukum yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haid wanita ditetapkan oleh Allah sebagai mani ( penghalang ) bagi kecakapan wanita itu untuk melaksanakan shalat, dan oleh karena itu, shalat tidak wajib dilakukan oleh orang haid. عن عاءشة ا ن امراة سألتها اتقضى الحا ءض الصلاة قالت لها عاءشه احروريه انت قد كنا نحيض عند النبيصلى صلى الله عليه وسلم ثم نتهرولم يا مرنا بقضء الصلاة (رواه ابن ماجه) “ dari Aisyah sesungguhnya ada seorang yang bertanya kepadanya apakah seorang wanita yang haid harus menghada’ shalat, Aisyah berkata : anda terbebas, sebab dulu dimasa Nabi Saw. kami pernah haid adan setelah suci beliau tidak menyuruh menghada’ shalat. 2. Mani al-Sabab Mani’ al- Sabab yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak mempunyai akibat hukum. Misalnya, bahwa sampai harta minimal satu nisab, menjadi sebab wajibnya mengeluarkan zakat harta itu jika pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun, jika pemilik harta itu dalam keadaan berutang dimana utang itu apabila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fiqih keadaan berutang itu menjadi mani ( penghalang ). 5. Sah, Fasad dan Batal a. Sah Sah adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenhnya sebab, syarat dan tidak ada mani. Misalnya, mengerjakan shalat dzuhur setelah tergelincirnya matahari ( sebab ) dan telah berwdhu’ ( syarat ), dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya ( tidak haid, tidak nifas dan sebagainya ). Dalam contoh ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah. Oleh karena itu, apabila sebab tidak ada dan syarat tidak terpenuhi, maka shalat itu tidak sah, sekali pn mani’ nya tidak ada. b. Fasad Menurut para ulama fasad adalah terjadinya suatu kerusakan dalam unsur-unsur akad artinya, akad itu pada dasarnya sah tetapi sifat akad itu yang tidak sah. Ulama hanafiyyah mendefinisikan fasad yaitu hukum dasar akad itu boleh atau disyariatkan tetapi ada unsure diluar akad yang mempengaruhi hukum itu. Kemudian para lama Hanafiyyah : itu pun hanya dalam bidang mu’amalat, tidak dalam bidang ibadah. Artinya adanya perbedaan bathil dengan fasad hanya ada dalam bidang mu’amalat saja. c. Batal Yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya memperjal belian minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’. d. Rukhsah dan Azimah Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada seluruh hambanya sejak semula. Contohnya yaitu jumlah shalat dzhur empat rakaat, Hukum shalat dzuhur empat rakaat menurut azimah. Kemudian bagi musafir bisa melaksanakan shalat dzuhur dua rakaat hal yang seperti inilah yang disebut rukhsah. C. Hal-hal yang mempengaruhi beban hukum ( Awaridh ) 1. Awaridh Samawiyah Awaridh Samawiyah adalah halangan yang timbul dari luar dirinya yang ia sendiri tidak mempunyai daya dan kehendak menghadapinya. Awaridh samawiyah terdiri dari beberapa macam dan hukum yang berlaku padanya berbeda menurut bentuknya: a. Gila b. Idiot c. Lupa d. Ketiduran e. Pingsan 2. Awaridh muktasabah Awaridh muktasabah adalah halangan yang timbul dari dirinya sendiri atau tersebab kehendak atau dayanya sendri. Yang termasuk kedalam halangan bentuk ini adalah sebagai berikut: a. Mabuk b. Safih (bodoh) c. Jahil (ketidaktahuan tentang hukum) d. Tersalah e. Terpaksa f. Dalam keadaan sakit D. Ahliyah al-Ada dan Ahliyah al-Wujub Ahliyah secara etimologi berarti ‘ kecakapan menangani suatu urusan ‘. Misalnya seseorang dikatakan ahli ntuk menduduki suatu jabatan atau posisi, berarti ia punya kemampuan untuk itu. Sedangkan secara terminologi ahliyah adalah : صفة يقدرها الشارع فى الشخص تجعله محلا صالحا لخطاب تشريعي “ Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran syar’i untuk menentukan seseorng telah cakap untuk dikenai tuntutan syar’i. 1. Ahliyah al-Ada Ahliyah al-Ada adalah kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain. Keberadaan kemampuan ini tidak hanya karena ia sebagai manusia, tetapi karena ia cakap atau tamyiz. Ulama ushul fiqih membuat batasan yang mencakup untuk mu’amalah dan ibadah, kepantasan seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum yang bila di pertanggungjawabkan, sehingga lahir akibat-akibat hukm yang mengikat seperti syara’. Tolak ukur ahliyah al-ada’ adalah akal. Bila akal sepurna, maka sempurna pula ahliyah ada’ nya pula dan begitu pusla sebaliknya. Dan apabila akal tidak ada maka ahliyah ada’ nya pun hilang. Konsekuensi dari hal ini ada dua : - Ahliyatul ada’ tam ( Sempurna ) Yaitu ketika seseorang yang berakal telah mencapai umur dewasa (baligh) dinisbahkan untuk hukum syara’ dan balighnya orang yang cakap dinisbahkan untuk mu’amalah harta (perdata) - Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) Yaitu anak yang cakap sama dengan dan semisalnya dinisbahkan untuk mu’amalah harta dan perikatan. Adapun taklif syara’ bagi anak yang cakap sama dengan yang tidak cakap. 2. Ahliyah al-Wujub Ahliyah al-wujub adalah kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi kemanusiaan, yang dasar kemanusiaannya karena ia seorang manusia. Ahliyah wujub ini tidak dibatasi oleh umur, baligh atau tidak dan cerdas atau tidak. Semenjak ia dilahirkan, hidup di dunia ini dan sampai ia meninggal, ia telah memiliki ahliyah al-wujub. Misalnya, apabila ada seseorang yang berwasiat kepadanya, maka wasiat itu berhak ia terima. Demikian juga seorang yang masih bayi, kemudian Ayahnya meninggal, maka ia berhak mendapat warisan dari Ayahnya. Akan tetapi, seluruh harta yang didapatkan oleh taraf Ahliyah al-wujub tidak boleh ia kelola sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali (orang yang diberi wasiat memelihara hartanya), karena ia dianggap belum dianggap cakap untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban. Para ulama ushul fiqih membagi ahliyah al-wujub kedalam dua bagian, yaitu: - Ahliyah al-Wujub al-naqisah Yaitu ketika seorang masih berada dalam kandungan ibunya ( Janin ). Janin dianggap memiliki ahliyah al-wujub yang belum sempurna., karena hak-hak yang ia harus terima belm dapat menjadi miliknya, sebelm ia terlahir kedunia dengan selamat, walau hanya untuk sesaat. Apabila ia lahir maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya. - Ahliyah al-Wujub al-kamilah Yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir kedunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipn akalnya masih kurang atau seperti orang gila. Dalam status ahliyah al-wujub (sempurna atau tidak )seseorang tidak dibebani tuntutan syara’ baik yang bersifat ibadah maupun mu’amalah. E.Perbedaan Hukum Wadh’I dan Hukum Taklifi Ada beberapa perbedaan antara hukum takhlifi dengan hukum al-wadh’I yang dapat disimpulkan dari berbagai pengertian hukum diatas. Perbedaan yang dimaksud antara lain: 1. Dalam hukum takhlifi terkandung tuntunan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum al-wadh’I hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang atau syarat. 2. Hukum al-taklifi merupakan tuntunan langsung pada mukalaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum wadh’I tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum wadh’I dtentukan syar’I agar dapat dilaksanakan hukum taklifi. Misalnya, zakat itu hukumnya wajib (hukum taklifi). Akan tetapi hukum ini tidak bisa dilakukan apabila harta tersebut tidak mencapai ukuran satu nisab dan belum haul. Ukuran satu nisab merupakan penyebab ( hukum wadh’I ) wajib zakat dan haul merupakan syarat ( hukum wadh’I ) wajib zakat. 3. Hukum al-taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk merlaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum taklifi tidak boleh ada kesulitan dan kesempitan yang tidak boleh dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukum wadh’I hal seperti itu tidak dipermasalahkan, karena dalam hukum wadh’I kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan(haraj) ada kalanya dapat dipikul mukallaf (seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan), dan ada kalanya diluar kemampuan mukallaf (seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat dzuhur). 4. Hukum al-taklifi hanya ditujukan untuk yang mukallaf, yaitu yang baligh dan berakal. Sedangkan hukum wadh’I dimanakan untuk manusia mana saja, baik yang sudah mukallaf ataupun tidak,seperti anak kecil dan orang gila. DAFTAR PUSTAKA Abu Zahroh, Muhammad, Ushul al-fiqih, Mesir : Dar al-Fikr al-Arabi. 1958 Abu Zahro, Prof. Muhammad, ‘Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Pirdaus.1997, cet ke IV Effendi, Prof. Dr. Satria, M. Zein, M.A. ‘ Ushul Fiqih. Jakarta Prenada Media. 2005, cet I Haroen, Drs. H. Nasrun, M.A., ‘Ushul Fiqih, Jakarta : Logos Fublishing House. 1996, cet I Juhaili, Wahbi. Ushul Fiqih.Bayrut : Dar-Fikr. 1994,cet. I Kallaf, Wahab al-syekh , Ilmu Ushul Fiqih.Kuwait : Dar al-Qalam. 1984, cet IV Syarifudin, Amir,Haji, ‘ Ushul Fiqih jilid I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu.1997, cet I Yunus, Mahmud . Kamus Arab-Indonesia.Jakarta : Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah.2009

Selasa, 26 Juni 2012

HADIS MAUDHU' ( HADIS PALSU )


HADIS MAUDHU
A.    Pendahuluan
Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Quran dalam Islam. Hadis memiliki peranan sangat penting dalam agama Islam. Hadis merupakan  sesuatu yang disandrakan pada Nabi Muhammad Saw. baik perkataannya, perbuatnnya, ketetapannya maupun sifatnya. Hadis memiliki keterkaitan yang erat dengan al-Quran karena hadis berfungsi sebagai penjelas, perinci bahkan pembatas dari  al-Qur’an.  Ketika ada hadis-hadis maudhûʿ atau palsu maka akan mempengaruhi hukum-hukum yang ada dalam hadis-hadis shahih bahkan al-Quran. Untuk itu penyusun sengaja menyusun makalah sederhana mengenai “ Hadis Maudhûʿ  “ . Karena masih banyak masyarkat diluar sana yang masih menggunakan hadis maudhûʿ  karena faktor ketidak tahuan mereka terhadap  memahami suatu hadis.
B.     Pengertian Hadis Maudhûʿ
1.      Pengertian Secara Etimologi
Secara etimologi hadis maudhûʿ merupakan bentuk isim maf’ul dari wadha’a.  Kata tersebut memiliki makna menggugurkan, meninggalkan, dan mengada-ada.
2.      Pengertian Secara Terminologi
Secara terminologi hadis merupakan sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah Saw. secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau tidak kerjakan maudhûʿ atau beliau tetapkan.[1]
C.       Derajat Hadis Maudhûʿ
Hadis maudhûʿ merupakan hadis dla’if yang paling rendah dan paling buruk. Sebagian ulama malah menganggap terpisah , bukan bagian dari  jenis-jenis hadis dla’if.[2]
Dan karena itu pula tidak di benarkan bahkan diharamkan hukumnya untuk meriwayatkannya dengan alasan apapun kecuali disertai dengan penjelasan tentang kepalsuan hadis nya.[3]
D.  Sejarah Singkat Hadis Maudhûʿ  dan Sebab- sebab Pemalsuan Hadis
            Hadis  pertama kali muncul  paham dikalangan kaum muslimin di akhir masa al-Khulafa ar-rasyidin, pada masa “ Fatima al-kubra “ , yakni pertetentangan yang terjadi antara sahabat Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Pada masa  itu, pemalsuan hadis dilakukan oleh orang-orang yang mengutamakan satu sahabat terhadap sahabat yang lain. Dapat juga dikatankan pada abad pertama dan kedua hijriah  belumlah mencapai puncaknya.[4]
Sebab- sebab Pemalsuan Hadis 
1.      Sebab Disengaja
Telah disebut secara sekilas bahwa hadis itu pernah mejadi lahan strategis untuk dipalsukan. Adapun sebab pemalsuan hadis pada umumnya, sebagai yang dituturkan oleh para ulama hadis adalah sebagai berikut :
a.       Pertentangan Politik
Sebagai diketahui bahwa sebelum munculnya berbagai aliran dalam Islam, persoalan yang pertama muncul adalah perebutan kekuasaan. Sungguh terasa pahit, harus diakui bahwa terbunuhnya Usman ibn Affan karena berbau perebutan kekuasaan . Ternyata terbunuhnya Ali ibn Abu  Thalib pun nyata-nyata akibat perebutan kekuasaaan.  Untuk pembelaan masing-masing eksistensi masing-asing kelmpok yang berebut kekuasaan ternyata diperlukan pemalsuan hadis.
Contoh Hadis Maudhûʿ :
من أراد أن ينظر إلى آدام في علمه والى نوح في تقواه وإلى ابراهيم في حلمه وإلى موسى في حيبته وإلى عيسى في عبادته فلينظر غلى على
Artinya : “ Siapa saja yang ingin melihat ilmu Nabi Adam , ketaqwaan Nabi Nuh, ketabahan Nabi Ibrahim, keperkasaaan Nabi Musa dan ibadah Nabi Isa, maka lihatlah Sayyidina Ali. “
الأمناء ثلاثة أنا وجبريل زمعاوية. أنت منّي يا معاوية وأنا منك

Artinya : “ Orang-orang terpercaya itu ada tiga, saya (Nabi Saw.), Jibril dan Mu’awiyah. Wahai  Mu’awiyah , engkau dipihakku dan aku dipihak kamu “.
b.      Perbedaan Mazhab
Seperti halnya persoalan politik yang dapat menyulut minat, pertikaian pendapat mazhab kalam dan fiqih juga.
-           Hadits Maudhûʿ  yang mengharamkan paham Muktazilah :
Artinya : “ Semua yang dilangit dan di bumi dan yang diantaranya adalah   makhluk ,kecuali al-Qur’an,  akan datang kaum dari umatku yang berkata bahwa al-Qur’an itu makhluk. Barang siapa yang berkata begitu berarti kafir kepada Allah dan cerai dengan istrinya ketika itu pula. “
-          Hadis Maudhûʿ yang membenci paham Qodariyah
 القدرية مجوس هذه الأمة 
Artinya : “ Paham Qadariyah adalah kaum Majusi bagi ummat ini “
-          Dalam mazhab fiqih , kaum yang membenci Imam Syafi’i :
 يكون في امتى رجل يقال له محمد بن غدريس أضر على أمتي من ابليس
Artinya : “ Akan lahir dikalangan umatku kelak seorang pria yang bernama Muhammad ibn  Idris , ia lebih berbahaya ketimbang Iblis . “
c.       Cinta Kebaikan Serta Bodoh Agama
Ada ulama yang memperbolehkan rekayasa hadis untuk menganjurkan orang mengamalka beberapa fadillah dan anjuran ibadah serta melarang maksiat, tetapi tidak sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Ini sebenarnya membahayakan agama. Apalagi bila informasi hadis semacam ini dibaca oleh orang kritis, akan menunjukan dangkalnya agama.
Hadis yang senada yang dibuat oleh tukang kisah, berbunyi  :
من قال لا إله إلاّ الله من تلك الكلمة طائرا له سبعون الف لسان لكل لسان سبعون ألف لغة يستغفرون له


Artinya : “  Barang siapa mengucapkan’ lâilaha illa allah’ maka untuk setiap kata yang diucapkan itu telah menciptakan seekor burung yang paruhnya terbuat dari emas dan sayapnya terbuat dari marjan. “  dikatakan oleh para tukang kisah  bahwa hadis ini berasal dari Ahmad ibn Hambal dan Yahya bin Ma’in.
2.      Sebab Tidak Disengaja
a.       Terjadinya kekeliruan atau kesalahan pada diri periwayat .
b.      Karena adanya penyusupan hadis palsu dalam karya periwayat oleh orang lain tanpa sepengetahuan penulisnya.
E. Kriteria atau Ciri-ciri Hadis  Maudhûʿ
1. Terdapat Dalam Kepalsuan Sanad :
a.  Pengakuan periwayat yang melakukan pemalsuan, seperti yang dilakukan oleh        Abdul Karim Al-Wadldla.
b. Periwayat yang dikenal pendusta meriwayatkan suatu hadis seorang diri, tidak ada  periwayat hadis tsiqah yang meriwayatkan hadis yang sama.
c. Terdapat indikasi yang menunjukan bahwa seorang periwayat adalah pembohong.
2.  Kepalsuan Matan
a. Adanya  kejanggalan pada redaksi, susunan kata bahkan kalimatnya tidak sesuai dengan struktur bahasa Arab.
b. Maknanya menyalahi sejarah, kebiasaan  dan bahkan bertentangan dengan akal sehat. Contoh hadis maudhûʿ nya :
البذنجان شفاء من كل داء
artinya : “ Terong merupakan obat segala penyakit “[5]
c.       Kandungannya bertentangan dengan al-Quran dan hadis shahih.
d.      Hadis yang menggambarkan bahwa sahabat sepakat menyembunyikan ajaran Nabi Saw..
e.       Hadis yang isinya sesuai dengan pendapat madzhab yang meriwayatkannya, sedangkan periwayatnya itu dikenal sangat panatik terhadap madzhabnya itu.[6]
f.       Hadis yang isinya mengandung pahala yang berlebihan atas perbuatan yang kecil atau dosa yang berlebihan pula atas dosa yang kecil.
g.      Lemahnya kandungan isi Hadis
F. Kitab- kitab yang Memuat Hadis Maudhû
1. Tadzkiratul Maudhû’ah
Karya Abu AL-Fadhl Muhammad bin Thahir al-Maqdisi (448-507H) Kitab ini menyebutkan penilaian cacat atas para periwayat yang membawa hadisnya.
2. Al-Maudhû’ah Kubro
Karya Abu al-farraj Abdurrahman ibn Jauzi (508-597 H).
3.Tanzihu as-syariah al-marfu’ah ‘an al-alhadits as-syani’ah al-Maudhû’ah
Karya ibn Iraq al-Kanani, merupakan kitab ringkasan dari pendahulunya kitabnya berbentuk kompilasi yang sangat bermanfaat.
G. Upaya Membendung Hadis Maudhûʿ
Dengan merebaknya hadis maudhûʿ atau hadis palsu maka ulama hadis bekerja keras untuk menemukan cara memisahkan dan membedakan mana hadis maudhûʿ dan yang bukan maudhûʿ. Banyak hal yang dilakukan para ulama hadis diantaranya sebagai berikut :
1.      Pembukuan hadis
2.      Pembentukan Ilmu-ilmu Hadis , ilmu ini menelusuri berbagai bidang  :
-          Bidang kwalitas periwayat
-          Bidang persambungan sanad
-          Bidang jalur periwayatan bidang sandaran hadis.
3.      Menghimpun biografi para periwayat hadis
4.      Perumusan istilah-istilah hadis
H. Urgensi Mempelajari Hadis Maudhûʿ
1. Mengetahui bahwasannya hadis itu bermacan-macam ada hadis yang asli dari Nabi         Saw.  dan ada pula hadis palsu yang mengaku-ngaku hadis dari Nabi Saw..
2.  Sebagai motivasi untuk lebih giat lagi untuk mempelajari dan memperdalam ilmu hadis.
I. Penutup
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan, bahwa : Hadis maudhûʿ merupakan sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Saw. secara mengada-ada dan dusta, yang beliau tidak sabdakan, beliau tidak kerjakan atau beliau tetapkan.
Ada dua pendapat tentang penggunaan hadis maudhûʿ:
1.      Sebagian ulama berpendapat bahwasannya menggunakan hadis maudhûʿ untuk memotivasi diperbolehkan dengan syarat disebutkan bahwa hadis tersebut maudhûʿ atau palsu.
2.      Sebagian ulama lain berpendapat penggunaan hadis maudhûʿ tidak di perbolehkan sama sekali baik untuk jalan motivasi, kebaikan dan sebagainnya. Dengan alasan karena hadis itu hadis maudhûʿ yang sudah  jelas bukan berasal dari Nabi Saw..
J. Daftar Pustaka
Al- Shahal. Ilmu Hadits. Bayrût : Dar al – Fikr, 1998
As- Suyuthi. Tadbir Ar-Rawi. Bayrût : Dar al- Fikr. 1414 H / 1993 M
Khotib, Ajja. Ushul Hadits wa Musthalahu. Bayrût : Ma’syurat Dar al- Ifaq al-Jadiah. 1983
Khon, Majid dan Bustamin. Ulumul Hadits . Jakarta : Pusat Studi Wanita. 2005
Thahan, Mahmud. Ilmu Hadis Praktis.Jakarta : Pustaka Thariqul Izzah. 2009


[1] Dr. Majid Khon dan Bustamin. Ulumul Hadits ( Jakarta : Pusat Studi Wanita 2005 )h. 167-168
[2] Dr. Mahmud Thahan, Ilmu hadits praktis. ( Jakarta : Pustaka Thariqul Izzah  2009 ) h. 109
[3] Ibn Al-Shalah. Ulumul al- Hadits. ( Bayrût : Dar al-Fikr 1998 ) h. 89

[4] Muhammad Ajjaj al-Khatib. Ushul Hadits ya‘ulumuh wa Musthalahu ( Bayrût : Ma’syurat Dar al- Ipaq al- Jadiah, 1983 )  h.416



[5] Op Cit. Dr. Majid Khon dan Bustamin. Ulumul Hadis. h.  86


[6] Op Cit. M. ‘ Ajjaj al-khatib. Ushul al-Hadits wa Musthalahul. h. 62