Selasa, 28 Agustus 2012

HUKUM WADH'I DAN KENDALA PELAKSANAANNYA

HUKUM WADH’I DAN KENDALA PELAKSANAANNYA A. Pengertian Hukum Wadh’I Secara etimologi kata Wadh’I berasal dari bahasa arab yaitu kata وضعى yang berarti posisi, tempat atau letak. Sedangkan pengertian wadh’I secara terminologi adalah : الحكم الوضعي : هو خطا ب الله تعلى الوارد يجعل الشي ء سببا او شرطا او منعا او صحيحا او فا سدا او عزيمة او رخصة “ Hukum wadh’I adalah ketetapan Allah yang menjadikan sesuatu sebab, syarat, mani, sah, fasid, azimah atau rukhsah. B. Pembagian Hukum Wadh’I Dalam pembagian hukum wadh’I terdapat beberapa pendapat : 1. Pendapat Syekh Abdul Wahab Kallaf Menurut Syekh Abdul Wahab Kallaf dalam kitabnya yang berjudul “ Ushul fiqih “ menyebutkan : Hukum wadh’I itu terbagi atas lima bagian. Ditetapkan dengan suatu ketetapan bahwa hukum ini ada kalanya menjadikan sesuatu itu menjadi sebab bagi sesuatu, atau syarat, atau diperbolehkan rukhsah ganti azimah. Sahih atau tidak sahih. 2. Pendapat Muhammad Abu Zahro dalam kitabnya yang berjudul “ Ushul Fiqih “, membagi hukum wadhi kedalam tiga bagian : والحكم النو ضعى بمقتضى هذا ينقسم الى ثلا ثة اقسام : سبب, وشرط, ومانع Artinya : “ Hukum wadhi terbagi kedalam tiga bagian, yaitu sebab, syarat dan mani. Adapun sah dan batal termasuk kedalam bagaian Mani, begitu juga dengan Rukhsah dan Azimah. Adanya ikhtilaf atau perbedaan para ulama mengenai pembagian hukum wadh’I, ada yang menyebutkan tiga, ada juga empat bahkan lima bagian. Namun adpun asal pembagian hukum wadh’I ialah terbagi kedalam tiga bagian, yaitu : sebab, syarat dan mani.Begitu pula dengan bathal dan fasad ada ulama yang menyamakan antara keduanya ada pula yang membedakan antara bathal dan fasad. Abu Hanifah membedakan antara bathal dengan fasad. Bathal menurut Abu Hanifah adalah apabila sesuatu yang terlarang itu termasuk bagian atau menyangkut asal perbuatan itu sendiri, seperti melakukan shalat tanpa ruku’, atau menjual binatang yang masih dalam kandungan induknya. Sedangkan fasad adalah bila yang terlarang itu menyangkut sifat yang terkandung dalam perbuatan itu, jadi hal ini bukan menyangkut asalnya. Misalnya, melakukan puasa di Hari Raya, karena terkandung dalam Hari Raya sifat menerima tamu. Bila puasa pada hari itu berarti ada unsur menolak tamu. a. Pembagian Hukum Wadh’I 1. Sebab Sebab menurut bahasa berarti “ sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain. Menurut istilah ushul fiqih, seferti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, sebab berarti: ما الشرع معرفا لحكم شرعي , بحيث يوجد هذا الحكم عند وجوده Artinya : “ yaitu sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda tidak adanya hukum.” Sebab terbagi kedalam dua bagian : 1. Sebab yang bukan berasal dari perbuatan Mukallaf Sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukalaf (manusia) adalah sebab yang dijadikan oleh Allah sebagai tanda atas wujudnya hukum. Seperti adanya waktu merupakan sebab bagi wajibnya shalat ; keadaan terpaksa sebab merupakan sebab diperbolehkannya makan bangkai, dan adanaya kekhawatiran terjerumus dalam perzinaan bagi orang yang telah mampu berkeluarga merupakan sebab bagi wajibnnya nikah begitu juga seterusnya. Masing-masing “ sebab “ ini bukanlah berasal dari diri manusia, bahkan diantarannya merupakan cobaan atau ujian yang ditimpakan oleh Allah. 2. Sebab yang berasal dari perbuatan Mukalaf Sebab yang ada dalam jangkauan manusia adalah perbuatan manusia mukalaf yang yang oleh Allah dijadikan sebab timbulnya hukum. Seperti berpergian jauh bagi orang yang sedang berpuasa, merupakan sebab diperbolehkan berbuka, akad nikah merupakan sebab dihalalkannya berkumpul. Sebab yang berasal dari perbuatan mukalaf terbagi tiga bagian, yaitu : - Perbuatan yang diperintahkan ( perbuatan yang dituntut harus dilakukan ) - Perbuatan yang harus ditinggalkan - Perbuatn yang boleh dilakukan Adapun contoh-contoh sebab : 1. Tindakan perzinaan menjadi sebab ( alasan ) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya,. 2. Keadaan gila menjadi sebab ( alasan ) bagi keharusan ada pembimbingnya. 3. Tindakan perampokan sebagai bagi kewajiban mengembalikan benda yang di rampok kepada pemiliknya. 3. Syarat Secara etimologi syarath (لشرط ) yang dalam bahasa Indonesia disebut “ Syarat” berarti alamah yang berarti petanda, secara terminology, para ulama ushul fiqih merumuskannya dengan : ما يتوقف وجودا شرعيا على وجوده, ويكون خارجا عن حقيقته , ويلجم من علمه عدم الحكم Artinya : “ sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar‘I dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya hukum pun tidak ada. “  Pembagian Syarat Para ulama membagi syarat kedalam tiga macam : - Syarat Aqli Seperti kehidupan adanya syarat untuk dapat mengetahui. Adanya faham menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum. - Syarat ‘Adi Artinya sesuatu yang berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku, seperti bersentuhannya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat berlangsungnya kebakaran. - Syarat Syari Yaitu syarat yang berdasarkan penetapan syara, seperti sucinya badan menjadi syarat untuk shalat. Nisab menjadi syarat wajibnya zakat, bentuk yang ketiga inilah yang menjadi pokok pembahasan disini. 4. Mani Secara etimologi, mani berarti al-kaff’an al-syar’I artinya berhenti dari sesuatu, yang dalam bahasa Indonesia ‘ halangan’. Sedangkan, secara terminologi para ulama ushul fiqih merumuskan dengan : وصف ظا هر منضبط يستلزم وجوده عدم الحكم أوعدم السبب Artinya : “ Sifat dzahir yang dapat diukur yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau ketiadaannya sebab “ Maksudnya, dengan adanya mani, maka hukum menjadi tidak ada, tetapi tidak mesti keberadaan dan ketiadaannya adanya hukum. Misalnya, akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya sebagai sebab bagi waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa terhalang disebabkan oleh suami misalnya membunuh istrinya. Tidakan pembuhunuhan tersebut menjadi penghalang suami untuk mewarisi istrinya. Dalam hadis dijelaskan bahwa tidak ada waris mewarisi antara pembunuh dan terbunuh. a. Pembagian Mani Para ulama ushul fiqih mngemukakan bahwa mani dari sisi pengaruhnya kepada hukum dan sebab, terbagi kedalam dua macam: 1. Mani al-Hukum Mani al-Hukum yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haid wanita ditetapkan oleh Allah sebagai mani ( penghalang ) bagi kecakapan wanita itu untuk melaksanakan shalat, dan oleh karena itu, shalat tidak wajib dilakukan oleh orang haid. عن عاءشة ا ن امراة سألتها اتقضى الحا ءض الصلاة قالت لها عاءشه احروريه انت قد كنا نحيض عند النبيصلى صلى الله عليه وسلم ثم نتهرولم يا مرنا بقضء الصلاة (رواه ابن ماجه) “ dari Aisyah sesungguhnya ada seorang yang bertanya kepadanya apakah seorang wanita yang haid harus menghada’ shalat, Aisyah berkata : anda terbebas, sebab dulu dimasa Nabi Saw. kami pernah haid adan setelah suci beliau tidak menyuruh menghada’ shalat. 2. Mani al-Sabab Mani’ al- Sabab yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak mempunyai akibat hukum. Misalnya, bahwa sampai harta minimal satu nisab, menjadi sebab wajibnya mengeluarkan zakat harta itu jika pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun, jika pemilik harta itu dalam keadaan berutang dimana utang itu apabila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fiqih keadaan berutang itu menjadi mani ( penghalang ). 5. Sah, Fasad dan Batal a. Sah Sah adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenhnya sebab, syarat dan tidak ada mani. Misalnya, mengerjakan shalat dzuhur setelah tergelincirnya matahari ( sebab ) dan telah berwdhu’ ( syarat ), dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya ( tidak haid, tidak nifas dan sebagainya ). Dalam contoh ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah. Oleh karena itu, apabila sebab tidak ada dan syarat tidak terpenuhi, maka shalat itu tidak sah, sekali pn mani’ nya tidak ada. b. Fasad Menurut para ulama fasad adalah terjadinya suatu kerusakan dalam unsur-unsur akad artinya, akad itu pada dasarnya sah tetapi sifat akad itu yang tidak sah. Ulama hanafiyyah mendefinisikan fasad yaitu hukum dasar akad itu boleh atau disyariatkan tetapi ada unsure diluar akad yang mempengaruhi hukum itu. Kemudian para lama Hanafiyyah : itu pun hanya dalam bidang mu’amalat, tidak dalam bidang ibadah. Artinya adanya perbedaan bathil dengan fasad hanya ada dalam bidang mu’amalat saja. c. Batal Yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya memperjal belian minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’. d. Rukhsah dan Azimah Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada seluruh hambanya sejak semula. Contohnya yaitu jumlah shalat dzhur empat rakaat, Hukum shalat dzuhur empat rakaat menurut azimah. Kemudian bagi musafir bisa melaksanakan shalat dzuhur dua rakaat hal yang seperti inilah yang disebut rukhsah. C. Hal-hal yang mempengaruhi beban hukum ( Awaridh ) 1. Awaridh Samawiyah Awaridh Samawiyah adalah halangan yang timbul dari luar dirinya yang ia sendiri tidak mempunyai daya dan kehendak menghadapinya. Awaridh samawiyah terdiri dari beberapa macam dan hukum yang berlaku padanya berbeda menurut bentuknya: a. Gila b. Idiot c. Lupa d. Ketiduran e. Pingsan 2. Awaridh muktasabah Awaridh muktasabah adalah halangan yang timbul dari dirinya sendiri atau tersebab kehendak atau dayanya sendri. Yang termasuk kedalam halangan bentuk ini adalah sebagai berikut: a. Mabuk b. Safih (bodoh) c. Jahil (ketidaktahuan tentang hukum) d. Tersalah e. Terpaksa f. Dalam keadaan sakit D. Ahliyah al-Ada dan Ahliyah al-Wujub Ahliyah secara etimologi berarti ‘ kecakapan menangani suatu urusan ‘. Misalnya seseorang dikatakan ahli ntuk menduduki suatu jabatan atau posisi, berarti ia punya kemampuan untuk itu. Sedangkan secara terminologi ahliyah adalah : صفة يقدرها الشارع فى الشخص تجعله محلا صالحا لخطاب تشريعي “ Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran syar’i untuk menentukan seseorng telah cakap untuk dikenai tuntutan syar’i. 1. Ahliyah al-Ada Ahliyah al-Ada adalah kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain. Keberadaan kemampuan ini tidak hanya karena ia sebagai manusia, tetapi karena ia cakap atau tamyiz. Ulama ushul fiqih membuat batasan yang mencakup untuk mu’amalah dan ibadah, kepantasan seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum yang bila di pertanggungjawabkan, sehingga lahir akibat-akibat hukm yang mengikat seperti syara’. Tolak ukur ahliyah al-ada’ adalah akal. Bila akal sepurna, maka sempurna pula ahliyah ada’ nya pula dan begitu pusla sebaliknya. Dan apabila akal tidak ada maka ahliyah ada’ nya pun hilang. Konsekuensi dari hal ini ada dua : - Ahliyatul ada’ tam ( Sempurna ) Yaitu ketika seseorang yang berakal telah mencapai umur dewasa (baligh) dinisbahkan untuk hukum syara’ dan balighnya orang yang cakap dinisbahkan untuk mu’amalah harta (perdata) - Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) Yaitu anak yang cakap sama dengan dan semisalnya dinisbahkan untuk mu’amalah harta dan perikatan. Adapun taklif syara’ bagi anak yang cakap sama dengan yang tidak cakap. 2. Ahliyah al-Wujub Ahliyah al-wujub adalah kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi kemanusiaan, yang dasar kemanusiaannya karena ia seorang manusia. Ahliyah wujub ini tidak dibatasi oleh umur, baligh atau tidak dan cerdas atau tidak. Semenjak ia dilahirkan, hidup di dunia ini dan sampai ia meninggal, ia telah memiliki ahliyah al-wujub. Misalnya, apabila ada seseorang yang berwasiat kepadanya, maka wasiat itu berhak ia terima. Demikian juga seorang yang masih bayi, kemudian Ayahnya meninggal, maka ia berhak mendapat warisan dari Ayahnya. Akan tetapi, seluruh harta yang didapatkan oleh taraf Ahliyah al-wujub tidak boleh ia kelola sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali (orang yang diberi wasiat memelihara hartanya), karena ia dianggap belum dianggap cakap untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban. Para ulama ushul fiqih membagi ahliyah al-wujub kedalam dua bagian, yaitu: - Ahliyah al-Wujub al-naqisah Yaitu ketika seorang masih berada dalam kandungan ibunya ( Janin ). Janin dianggap memiliki ahliyah al-wujub yang belum sempurna., karena hak-hak yang ia harus terima belm dapat menjadi miliknya, sebelm ia terlahir kedunia dengan selamat, walau hanya untuk sesaat. Apabila ia lahir maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya. - Ahliyah al-Wujub al-kamilah Yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir kedunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipn akalnya masih kurang atau seperti orang gila. Dalam status ahliyah al-wujub (sempurna atau tidak )seseorang tidak dibebani tuntutan syara’ baik yang bersifat ibadah maupun mu’amalah. E.Perbedaan Hukum Wadh’I dan Hukum Taklifi Ada beberapa perbedaan antara hukum takhlifi dengan hukum al-wadh’I yang dapat disimpulkan dari berbagai pengertian hukum diatas. Perbedaan yang dimaksud antara lain: 1. Dalam hukum takhlifi terkandung tuntunan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum al-wadh’I hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang atau syarat. 2. Hukum al-taklifi merupakan tuntunan langsung pada mukalaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum wadh’I tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum wadh’I dtentukan syar’I agar dapat dilaksanakan hukum taklifi. Misalnya, zakat itu hukumnya wajib (hukum taklifi). Akan tetapi hukum ini tidak bisa dilakukan apabila harta tersebut tidak mencapai ukuran satu nisab dan belum haul. Ukuran satu nisab merupakan penyebab ( hukum wadh’I ) wajib zakat dan haul merupakan syarat ( hukum wadh’I ) wajib zakat. 3. Hukum al-taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk merlaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum taklifi tidak boleh ada kesulitan dan kesempitan yang tidak boleh dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukum wadh’I hal seperti itu tidak dipermasalahkan, karena dalam hukum wadh’I kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan(haraj) ada kalanya dapat dipikul mukallaf (seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan), dan ada kalanya diluar kemampuan mukallaf (seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat dzuhur). 4. Hukum al-taklifi hanya ditujukan untuk yang mukallaf, yaitu yang baligh dan berakal. Sedangkan hukum wadh’I dimanakan untuk manusia mana saja, baik yang sudah mukallaf ataupun tidak,seperti anak kecil dan orang gila. DAFTAR PUSTAKA Abu Zahroh, Muhammad, Ushul al-fiqih, Mesir : Dar al-Fikr al-Arabi. 1958 Abu Zahro, Prof. Muhammad, ‘Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Pirdaus.1997, cet ke IV Effendi, Prof. Dr. Satria, M. Zein, M.A. ‘ Ushul Fiqih. Jakarta Prenada Media. 2005, cet I Haroen, Drs. H. Nasrun, M.A., ‘Ushul Fiqih, Jakarta : Logos Fublishing House. 1996, cet I Juhaili, Wahbi. Ushul Fiqih.Bayrut : Dar-Fikr. 1994,cet. I Kallaf, Wahab al-syekh , Ilmu Ushul Fiqih.Kuwait : Dar al-Qalam. 1984, cet IV Syarifudin, Amir,Haji, ‘ Ushul Fiqih jilid I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu.1997, cet I Yunus, Mahmud . Kamus Arab-Indonesia.Jakarta : Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah.2009