A.
Pendahuluan
Ilmu kalam merupakan ilmu yang sangat erat kaitannya dengan masalah
keyakinan baik terhadap Tuhan, alam, benda-benda maupun hal-hal lain yang
berkaitan dengan keyakinan. Ilmu kalam merupakan ilmu yang menjadi bukti
perkembangan pemikiran manusia dari masa ke masa. Ilmu kalam muncul sejalan
dengan muncul aliran-aliran dalam Islam. Awal kemunculan Ilmu kalam dipicu oleh persoalan politik yang
menyangkut peristiwa pembunuh ‘Usman bin Affan yang berbuntut akan penolakan
Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib menjadi perang Siffin yang
berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Dari persoalan ini, muncullah
tiga Aliran yaitu :
1.
Aliran
Khawarij
2.
Aliran
Murji’ah
3.
Aliran
Mu’tazilah
Dengan demikian, ilmu kalam merupakan ilmu yang erat kaitannya
dengan aliran-aliran yang sampai saat ini masih sangat berkembang.
B.
Pengertian Ilmu Kalam
Pengertian kalam secara etimologi
berasal dari bahasa Arab yang artinya
ialah perkataan, firman, ucapan dan pembicaran. Dalam Ilmu Nahwu atau ilmu bahasa kalam itu merupakan susunan
kalimat yang ada artinya. Dilihat dari sisi kebahasaan ilmu berarti ucapan,
sabda (bagi Rasulullah), atau firman (yang diperuntukan bagi Allah Swt). [1]
Dengan demikian, ilmu kalam berarti ilmu yang lebih membahas tentang firman
Allah.
Sedangkan, pengertian ilmu kalam menurut pendapat para ahli sebagai
diantaranya sebagai berikut[2]:
1.
Mustafa
Abdul Raziq
Ilmu
kalam adalah ilmu yang berkaitan dengan aqidah imani, yang dibangun atas argumentasi-argumentasi
rasional. Atau ilmu yang berkaitan dengan akidah islami dan bertolak atas
keyakinan nalar.
2.
Al-
Farabi
Ilmu
kalam adalah ilmu yang membahas dzat dan sifat-sifat Allah beserta semua
eksistensi semua yang mungkin, mulai masalah dunia sampai masalah sesudah mati
yang berdasarkan doktrin Islam yang berdasarkan kajian filosofis secara
mendalam.
C.
Nama-Nama Lain dari Ilmu Kalam
1.
Teologi
(Theologie atau theologhy)
Teologi secara
etimologi terdiri dari teo atau teos
yang berarti Tuhan dan logi atau logos yang berarti pengetahuan (science,
studi, discourse), faham atau pembicaraan, jadi, teologi mengandung arti
pengetahuan, faham atau pembicaraan tentang tuhan.[3]
Sedangkan pengertian teologi
secara terminologi ada banyak definisi yang dikembangkan oleh para ahli seperti
Fergelius Ferm yang menyebutkan bahwa teologi adalah pemikiran sistematis yang
berhubungan dengan alam semesta. Dalam Ensyklopedia Everymen’s, disebutkan
tentang teologi sebagai berikut : pengetahuan tentang agama, yang karenanya
membicarakan tentang Tuhan dan manusia dalam pertaliannya dengan Tuhan.
Adapun teologi terbagi kedalam dua bagian[4]:
a.
Teologi
Natural (Natural theology) yaitu teologi yang berdasarkan pemikiran falsafah semata.
b.
Teologi
Wahyu (Revealed theology) yaitu teologi yang terkaitan dengan wahyu. Teologi
Hidhu, teologi Khonghuchu, teologi Kristen, dan teologi Islam adalah teologi
yang menurut pengantut masing-masing berdasarkan wahyu.
Adapun aspek yang dibicarakan dalam teologi adalah kepercayaan
(believe) bukan aspek ibadah (ritual), tingkah laku, atau bukan peraturan yang
mengatur ibadah kepada Tuhan dan pergaulan sesama manusia.
2.
Ushuluddin
Kata ushuluddin berasal dari bahasa Arab yaitu terdiri dari kata Ushul
dan Addin, ushul yang berarti
pokok, dasar atau kaidah. [5]
Sedangkan, addin artinya adalah
agama. [6] Jadi,
ilmu ushuluddin adalah ilmu yang membahas pokok-poko agama atau dasar-dasar
agama.
Sedangkan pengertian Ushuluddin secara terminologi adalah :
علم
أصول الدين هو علم يبحث فيه عن أصول العقائد الدينية بالأدلة القطعية و العقلية
“Ilmu
ushuluddin adalah ilmu yang membahas padanya tentang prinsip-prinsip
kepercayaan agama dengan dalil-dalil yang qath’i (al-Quran dan hadis mutawatir)
dan dalil-dalil akal pikiran.”
3.
Aqidah
atau Aqaid
Pengertian Aqidah secara etimologi
berasal dari bahasa Arab yaitu kata ‘aqd (عقد) yang berarti pengikatan
atau pertalian.
Sedangkan pengertian Aqidah secara istilah merupakan apa yang diyakini seseorang. Jika,
dikatakan “ia memiliki aqidah yang benar” berarti aqidahnya bebas dari
keraguan. [7]
Aqidah merupakan perbuatan hati , yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya
kepada sesuatu.
4.
Ilmu
Tauhid
Ilmu Tauhid secara etimologi berasal dari bahasa Arab, masdar dari
kata wahhada ( وحّد ) yuwahhidu ( يوحّد ).
Secara etimologis, tauhid berarti keesaan. Maksudnya, itikad atau
keyakinan bahwa Allah Swt. adalah Esa; Tunggal; satu.[8]
Pengertian ini sejalan dengan pengertian
tauhid yang digunakan dalam
bahasa Indonesia, yaitu “keesaan Allah”; mentauhidkan berarti “mengakui keesaan
Allah: mengesakan Allah”[9]
Sedangkan pengertian Ilmu Tauhid secara terminologi menurut
beberapa pendapat adalah sebagai berikut[10]:
a.
Syekh
Muhammad Abduh :
التوحيد علم
يبحث فيه عن وجود الله, وما يجب ان يثبت له من صفات وما يجوز ان يوصف به وما يجب
أن ينفى عنه وعن الرسل لا ثبات رسالتهم,
وما يجب أن يكونوا عليه وما يجوز أن ينسب إليهم وما يمتنع أن يلحق بهم
“ Tauhid
ialah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib
tetap pada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari
pada-Nya, juga membahas Rasul-rasul Allah, meyakini kerasulan mereka, apa yang
boleh dihubungkan (dinisbatkan) kepada mereka dan apa yang terlarang
menghubungkan mereka “.
b.
Husein
Affandi al-Jasr :
اعلم
أن علم التوحيد هو : علم يبحث فيه عن
إثبات العقائد الدينية بالأدلة اليقينية
“ Ilmu
tauhid adalah ilmu yang membahas hal-hal yang menetapkan akidah agama dengan
dalil-dalil yang meyakinkan.”
c.
Ibnu
khaldun :
علم الكلام هو علم يتضمن الحجاج
عن العقائد الإيمانية بالأدلة العقلية والردالمبتدعة المتحرفين فى الاعتقادات
مذاهب السلف وأهل السنة
Ilmu
yang berisi alasan-alasan dari akidah keimanan dengan dalil-dalil akliah dan
berisi pula alasan-alasan, bantahan terhadap orang-orang yang menyelewengkan
akidah salaf dan ahli sunnah.
D.
Hubungan antara Ilmu Kalam, Ilmu Fiqih, Tasawuf dan Filsafat
Ilmu Kalam, Tasawuf dan Filsafat memiliki hubungan keterkaitan yang
erat, selain memiliki beberapa perbedaan antara Ilmu Kalam, Tasawuf dan
Filsafat, ketiga ilmu ini memiliki perbedaan. Adapun hubungan antara ketiga
ilmu tersebut dikelompokan kepada dua bagian yaitu:
a.
Persamaan
antara Ilmu Kalam, Tasawuf dan Filsafat[11]
Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf memiliki kemiripan Objek Kajian.
Objek Kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya.
Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan di samping masalah alam,
manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf adalah
Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap pendekatan terhadap-Nya. Jadi,
dilihat dari objeknya ketiga ilmu itu membahas tentang ketuhanan.
b.
Perbedaan
antara Ilmu Kalam dan Ilmu Fiqih
Ilmu fiqih dengan ilmu kalam sangatlah berbeda, ilmu kalam
merupakan ilmu yang menekankan pada keyakinan. Sedangkan, ilmu fiqih lebih
menekankan praktek ubuddiyahnya atau ritual kepada Tuhan.
Ilmu kalam dengan ilmu fiqih memiliki
hubungan yang sangat erat, ilmu kalam membahas keyakinan sedangkan ilmu
fiqih ialah praktik pengahmbaannya (ritual ibadah) dari keyakinan
tersebut. Ketika seseorang telah yakin akan aqidah yang ada dibenaknya maka
tentulah ia akan melaksanakan apa yang di perintahkan oleh ajaran keyakinannya
sendiri.
c.
Perbedaan antara Ilmu Kalam, Tasawuf dan
Filsafat[12]
Perbedaan antara ketiga ilmu tersebut terletak pada aspek
metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika disamping
argumentasi-argumentasinya naqilah- berfungsi untuk mempertahankan
keyakinan ajaran agama,yang sangat tampak adalah nilai-nilai apologinya. Pada
dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal juga
dengan istilah dialog keagamaan.
Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk
memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakan pun adalah metode yang
rasional, filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembangkan
atau mengelanakan) akal budi secara radikal.
Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada
rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif. Sebagai sebuah
ilmu yang prosesnya diperoleh dari berkaitan dengan pengalaman seseorang.
E.
Makna Kalimat Tauhid “Laa Ilaaha Illallaah “
dan Implikasinya dalam Kehidupan
Yaitu beri’tikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak
disembah dan menerima ibadah kecuali Allah Swt., mentaati hal tersebut dan mengamalkannya. Jadi makna kalimat ini secara ijmal (global)
adalah, “Tidak ada sesembahan yang hak selain Allah SWT”. Khabar لا
harus di-taqdirkan بحق (yang haq), tidak boleh di-taqdirkan dengan
موجود
(ada). Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang disembah
selain Allah Swt. banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah
tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah Swt. Ini tentu kebathilan
yang nyata.[13]
Kalimat لا اله الا
الله telah ditafsiri dengan beberapa penafsiran yang bathil, antara lain:
1. لا اله الا الله diartikan dengan “Tidak ada
sesembahan selain Allah Swt.” Ini adalah bathil, karena maknanya, “Sesungguhnya
setiap yang disembah, baik yang hak aupun yang bathil, itu adalah Allah Swt.”
2. لا اله الا الله diartikan dengan “ Tidak ada
pencipta selain Allah Swt “. Ini
juga sebagian makna dari kalimat لا اله الا الله . Akan tetapi bukan ini yang dimaksud,
karena arti ini hanya mengakui tauhid rububiyah saja, dan itu belum
cukup.
3. لا اله الا الله diartikan dengan “ Tidak ada
hakim (penentu hukum) selain Allah Swt. ini juga sebagian makna dari لا اله الا الله
. Tapi bukan itu yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup.
Semua tafsiran diatas batil atau kurang.
Kami peringatkan di sini karena tafsir-tafsir itu ada dalam kitab-kitab yang
banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar menurut salaf dan muhaqqiq (ulama peneliti) adalah لا معبود بحق إلا الله (Tidak ada sesembahan yang hak selain Allah Swt.).[14]
Dalam sabda Rasullah Saw. “Barang siapa
mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah dan mengingkari sesembahan selain
Allah, maka haramlah harta dan darahnya. Sedang hisab (perhitungan)nya adalah
terserah kepada Allah.” Ini hal terpenting yang menjelaskan pengertian Laa
Ilaaha Illallaah. Sebab, apa yang dijadikan Rasulullah sebagai pelindung
darah dan harta bukanlah sekedar mengucapkan kalimat tersebut, bukan pula
mengerti makna dan lafadznya, bukan pula mengakui kebenaran kalimat tersebut,
bukan karena juga karena meminta kecuali kepada Allah saja, Yang tiada sekutu
bagi-Nya. Akan tetapi, tidaklah haram dan terlindung harta dan darahnya hingga
dia menambahkan kepada pengucapan kalimat Laa Ilaaha Illallaah itu
pengingkaran kepada segala sesembahan selain Allah. Jika dia masih ragu atau
bimbang, maka belumlah haram dan terlindung harta dan darahnya.[15]
Implikasinya adalah meninggalkan ibadah
kepada selain Allah Swt. dari segala macam yang dipertuhankankan sebagai
keharusan dari peniadaan Laa Ilaaha Illallaah. Dan beribadah kepada
Allah semata tanpa syirik sedikit pun, sebagai keharusan dari penetapan Illallaah.
F.
Akidah Pokok dan Akidah Cabang dalam Ilmu Kalam (Rukun Iman)
Akidah
pokok dan cabang dalam ilmu kalam ada enam bagian, yaitu:
1.
Iman
kepada Allah Swt.
Yaitu
meyakini dengan akal akan wujud (ada) dan keberadaan-Nya sebagai pencipta,
pemelihara dan Tuhan seluruh makhluk ciptaan-Nya.[16] Dan
percaya sepenuhnya, tanpa keraguan sedikitpun, akan adanya Allah Swt. Yang Maha
Esa dan Maha Sempurna, baik dzat maupun sifat-Nya. Dalam mengenal Allah Swt.,
manusia hanya mampu sampai batas mengetahui
bahwa dzat Tuhan Yang Maha Esa itu ada (wujud) tidak lebih dari itu.
Untuk lebih lanjut manusia membutuhkan wahyu sebagai petunjuk dari Tuhan. Sebab
itulah, Tuhan mengutus para Rasul atau Nabi-Nya untuk menjelaskan apa dan
bagaimana Tuhan itu dengan petunjuk wahyu-Nya. [17]
Sebagaimana firman Allah SWT tentang Keesaan-Nya :
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#t öNs9ur ôs9qã ÇÌÈ öNs9ur `ä3t ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.(1) Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.(2) Dia tiada
beranak dan tidak pula diperanakkan,(3) dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan Dia.(4)”
2.
Iman
kepada Malaikat-malaikat Allah
}§ø©9 §É9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr @t6Ï% É-Îô³yJø9$# É>ÌøóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §É9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur ……
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah
beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi
…” (QS. Al-Baqarah: 177)
z`tB#uä ãAqߧ9$# !$yJÎ/ tAÌRé& Ïmøs9Î) `ÏB ¾ÏmÎn/§ tbqãZÏB÷sßJø9$#ur 4
<@ä. z`tB#uä «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur w ä-ÌhxÿçR ú÷üt/ 7ymr& `ÏiB ¾Ï&Î#ß 4
(#qä9$s%ur $uZ÷èÏJy $oY÷èsÛr&ur (
y7tR#tøÿäî $oY/u øs9Î)ur çÅÁyJø9$# ÇËÑÎÈ
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang
lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan
Kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada
Engkaulah tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah: 285)
Dari
ayat-ayat diatas telah menjadi bukti bahwa iman
kepada malaikat merupakan salah satu dari rukun aqidah Islamiyah (rukun
iman). Maka, keimanan manusia tidak akan sempurna tanpa adanya iman kepada
malaikat-malaikat Allah.
3.
Iman
kepada Kitab-kitab Allah
Yang
dimaksud kitab dalam pembahasan kali ini adalah sesuatu yang mengandung kalam,
yang berarti mempunyai tujuan dan topik yang luas. Kitab ini wajib diimani oleh
seorang muslim, karena berisi kalam Allah Ta’ala yang diwahyukan kepada para
rasul-rasul-Nya. Wahyu-wahyu tersebut ada yang sudah tersusun dalam bentuk
kitab dan ada yang masih berupa lembaran-lembaran (suhuf). Misalnya: suhuf
Ibrahim, suhuf Musa, kitab Taurat, kitab Zabur, kitab Injil, dan kitab
al-Qur’an. [18]
Al-Qur’an
telah menyebutkan perintah untuk beriman kepada kitab-kitab-Nya pada surat
an-Nisa’ ayat 136.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãYÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur É=»tFÅ3ø9$#ur Ï%©!$# tA¨tR 4n?tã ¾Ï&Î!qßu É=»tFÅ6ø9$#ur üÏ%©!$# tAtRr& `ÏB ã@ö6s% 4 `tBur öàÿõ3t «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/ ÇÊÌÏÈ
“Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian,
Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”
4.
Iman
kepada Rasul-rasul Allah
Yakni
menyakini bahwa Allah telah memilih beberapa orang diantara manusia, memberi
wahyu kepada mereka dan menjadikan mereka sebagai utusan (rasul) untuk
membimbing manusia kejalan yang benar.
ôs)s9ur $uZ÷Wyèt/ Îû Èe@à2 7p¨Bé& »wqߧ Âcr& (#rßç6ôã$# ©!$# (#qç7Ï^tGô_$#ur ……|Nqäó»©Ü9$#
“Dan sungguhnya
Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut…” (QS. An-Nahl: 36)
5.
Iman
kepada Hari akhir
Hari
akhir mempunyai dua pengertian, yakni pertama: hancur dan berakhirnya alam dan
seluruh kehidupan. Kedua: datangnya kehidupan akhirat dan permulaan kehidupan
yang baru.[19]
Iman
kepada hari kiamat berarti mempercayai akan adanya hari tersebut dan kehidupan
sesudah mati serta beberapa hal yang berhubungan dengan hari kiamat. Seperti
kebangkitan dari kubur, hisab (perhitungan amal), sirat (jembatan yang
terbentang diatas punggung neraka), surga dan neraka.
Kapan
hari kiamat akan datang, tidak seorangpun yang tahu dan hanya Allah saja yang
mengetahui. Manusia hanya diberi tahu melalui tanda-tandanya sebelum hari
kiamat tiba.
6.
Iman
kepada qadha’ dan qadar (ketetapan dan takdir)
percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah Swt. telah
menentukan tentang segala sesuatu bagi makhluknya. Berkaitan dengan qadha’
dan qadar, Rasulullah Saw. bersabda yang artinya ”Sesungguhnya
seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk
nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging,
kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan
empat ketentuan, yaitu tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan
(jalan hidupnya) sengsara atau bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).
Dari hadits di atas dapat kita
ketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah sejak sebelum ia dilahirkan.
Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa manusia
hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap
berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang dengan sendirinya.
Dan Allah telah menyebutkannya didalam al-Qur’an surat ar-Ra’d:
11
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.” (QS. Ar-Ra’du: 11)
G.
Penutup
1.
Ilmu
kalam merupakan ilmu yang berkaitan dengan ketuhanan atau ilmu tentang akidah
keimanan. Ilmu kalam tidak hanya membahas sesuatu yang berkaitan dengan keadaan
manusia di dunia saja melainkan juga membicarakan tentang kehidupan setelah
kematian.
2.
Ilmu
kalam mempunyai banyak sekali nama-nama lain, yakni: ilmu tauhid, teologi,
ushuluddin, dan aqaid.
3.
Makna
dari kalimat Laa ilaaha illallaah adalah yakin dan percaya dengan
sepunuh hati bahwa tidak ada yang hak disembah kecuali Allah, Yakni mengingkari
segala bentuk sesembahan kecuali Allah Yang Maha Esa.
4.
Implikasinya dalam kehidupan adalah meninggalkan
ibadah kepada selain Allah Swt. dari segala macam yang dipertuhankankan sebagai
keharusan dari peniadaan Laa Ilaaha. Dan beribadah kepada Allah semata
tanpa syirik sedikit pun, sebagai keharusan dari penetapan Illallaah.
5.
Akidan pokok dan cabang dari ilmu kalam tercakup dalam
6 (enam) aspek, yaitu: percaya kepada Allah, percaya kepada malaikat-malaikat
Allah, percaya kepada kitab-kitab Allah, percaya kepada rasul-rasul Allah,
percaya kepada hari akhir serta percaya kepada qhada’ dan qadar
Allah.
Daftar Pustaka
Al- Jazairi, Syaikh Abu Bakar Jabir. Aqidah Seorang Mukmin.
Terjemahan Salim Bazemool. Jakarta: Pustaka mantiq. 1994
Asmuni, H.M. Yusran. Ilmu Tauhid. Jakarta: Rajawali Press.
1996
Atjeh, H. Abu Bakar. Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam). Jakarta:
Tinta Mas. 1965
Dahlan, Abdul Aziz. Sejarah Perkembangan Dalam Islam. Jakarta:
Beunebi Cipta. 1987
Fauzan, Shalih bin. KitabTauhid I. Jakarta: Darul
Haq. 2011
Gholib, H. Achmad. Teologi Dalam Prespektif Islam. Jakarta:
UIN Jakarta Press. 2004
Syaikh, Abdurrahman bin Hasan Alu. Fathul Majid. Terjemahan
Ibtida’in Hamzah, Abu Azka, dan Abu Azka. Jakarta: Pustaka Azzam. 2002
Syalton, Muhammad. Islam Sebagai ‘Aqidah dan Syari’ah. Jakarta:
Bulan Bintang. 1967
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Ciputat: Mahmud Yunus
Wa Dzuriyah. 2007
Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan kebudayaan. 1989
[1]
H. Abu Bakar Atjeh. Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam). (Jakarta:
Tinta Mas, 1965). h. 30
[2]Drs.
H. Achmad Gholib. Teologi Dalam Prespektif Islam. (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2004). h.12
[3]
Abdul Aziz Dahlan. Sejarah Perkembangan Dalam Islam. (Jakarta:
Beunebi Cipta, 1987). h. 13
[4] Drs. H. Achmad Gholib, op cit. h. 6
[5]
Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia (Ciputat: Mahmud Yunus Wa Dzuriyah,
2007).h.43
[6]
Mahmud Yunus, op cit. h.133
[7]
Shalih bin Fauzan. KitabTauhid I. (Jakarta: Darul Haq, 2011). h.
3
[8]
H.M. Yusran Asmuni. Ilmu Tauhid. (Jakarta: Rajawali Press 1996). h. 1
[9]
Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan kebudayaan, 1989). h. 907-908
[10]
Op cit. H.M. Yusran Asmuni. Ilmu Tauhid. h. 2
[11]
Drs. H. Achmad Gholib, op cit. h. 36
[12]
Drs. H. Achmad Gholib, op cit. h.37-38
[13]
Shalih bin Fauzan, op cit. h. 58
[14]
Ibid. h. 58-59
[15]
Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh. Fathul Majid. Penerjemah Ibtida’in
Hamzah, Abu Azka, dan Abu Azka. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002) h. 173-174
[16]Syaikh
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi. Aqidah Seorang Mukmin. Terjemahan Salim
Bazemool. (Jakarta: Pustaka Mantiq, 1994) h. 38
[17]
Muhammad Syalton. Islam Sebagai ‘Aqidah dan Syari’ah. (Jakarta:
Bulan Bintang, 1967) h. 28
[18]
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, op cit. h. 184
[19]
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, op cit. h. 244
Tidak ada komentar:
Posting Komentar