FILSAFAT IKHWAN AS-SHAFA
A.
Latar
Belakang dan Tokoh Ikhwan Ash-Shafa
Pasca wafatnya Al-Farabi, muncul
sekelompok anak manusia yang menamakan dirinya Ikhwan ash-Shafa (
saudara-saudara yang mementingkan kesucian jiwa ). Kelompok ini mewariskan
sebuah adikarya ensiklopedis tentang ilmu pengetahuan dan filsafat dengan judul
Rasail Ikhwan ash-Shafa . karya ini berisi 50 risalah yang mengulas
berbagai bidang keilmuan meliputi matematika, fisika, jiwa, metafisika dan
sebagainya.[1]
Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam merekut anggota
baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.[2]
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan
as-Shafa (اخوان الصفا) berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisai rahasia yang
aneh dan misterius yang terdiri dari para
filusuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak -yang saat itu
merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah-di sekitar abad ke-10Masehi. Kelompok
yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan
Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka.
Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl
al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah nama yang diusulkan untuk mereka
sandang sebagaimana termaktub dalam bab ”Merpati Berkalung” dan Kalilah
wa Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati. Ikhwan al-Shafa
berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan al-Tauhidi
menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang dari kelompok Ikhwan al-Shafa
seperti, Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang dikenal dengan
al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad
al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah yang terkenal itu.[3]
Adapun identitas masing-masing
anggota kelomponya tidak jelas. Ini dikarenakan mereka saling menyembunyikan
identitas mereka. Untuk itu metode yang dilakukan untuk merekrut anggota baru
ialah dengan cara relasi antar individu bahkan secara sembunyi-sembunyi.
B.
Karya
Ikhwan Ash-Shafa
Pertemuan-pertemuan yang dilakukan
sekali dalam 12 hari dirumah Zaid ibn Rifa’ah (ketua) secara sembunyi-sembunyi
tanpa menimbulkan kecurigaan telah menghasilkan 52 risalah. Jumlah rasail
tersebut ada 50 risalah dengan satu ringkasan dan satu lagi ringkasan dari
ringkasan. Rasail itu merupakan ensiklopedi popular tentang ilmu dan filsafat
pada waktu itu. Ditilik dari segi isi,
rasail tersebut dapat diklasifikasikan kepada empat bidang, yaitu :
1.
14 risalah
tentang matematika, yang mencakup geometri, astronomi, music, geografi, teori
dan praktek seni, moral dan logika.
2.
17 risalah
tentang fisikadan ilmu alam, meliputi, geologi, minerologi, botani, hidup dan
matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan
kesadaran.
3.
10
risalah tentang ilmu jiwa, meliputi metafisika madzhab Pytagoeranisme dan
kebangkitan alam.
4.
11
risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencakup kepercayaan dan keyakinan,
hubungan alam dengan Tuhan, keyakinan Ikhwan Ash-Shafa, kenabiaan dan
keadaan-Nya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Tuhan, magic
dan jimat. [4]
C.
Filsafat
Ikhwan Ash-Shafa
1.
Pengetahuan,
Filsafat dan Agama
a.
Pengetahuan
Ikhwan ash-Shafa membagi pengetahuan terhadap tiga kategori yaitu:
sastra, sariat dan filsafat. Pengetahuan syariat merupakan pengetahuan nubuwat
yang disampaikan oleh para nabi, sedangkan sastra dan filsafat merupakan hasil
kreasi jiwa manusia. Bagi mereka, pengetahuan yang paling mulya itu adalah
syariat, dan berikutnya adalah filsafat. Dilihat dari objek pengetahuan,
pengertahuan yang paling mulia adalah pengetahuan tentang Tuhan dan
sifat-sifat-Nya. Kemudian pengetahuan tentang hakikat jiwa dan hubungannya
dengan raga, pelepasan dari raga, keberadaannya di alam jiwa, tentang hari
kebangkitan, hari berhimpun, hari perhimpunan amal baik dan buruk, hari surga
atau neraka, dan perjumpaan dengan Tuhan.
b.
Filsafat
Bagi
golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta
kepada ilmu; kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan
manusia, dan yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu.
Mengenai lapangan filsafat, maka dikatakannya ada empat, yaitu matematika,
logika, fisika, dan ilmu ketuhanan. Ilmu ketuhanan mempunyai bagian-bagian,
yaitu:
1.
Mengetahui
Tuhan;
2.
Ilmu
kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan;
3.
Ilmu
kejiwaan, yaitu mengetahui roh-roh dan jiwa-jiwa, yang ada pada benda-benda
langit dan benda-benda alam;
4.
Ilmu
politik yang meliputi politik kenabian, politik pemerintahan, politik umum
(politik kekotaan), politik khusus (politik rumah tangga), politik pribadi
(akhlak);
5.
Ilmu
keakhiratan, yaitu mengetahui hakikat kehidupan di hari kemudian.[5]
c.
Agama
Ikhwan al-Shafa adalah Muslim. Namun mereka memiliki interpretasi
tersendiri mengenai agama pada umumnya dan tentang Islam pada khususnya. Corak
Syi’ah yang amat tampak dalam kegiatan misioner memang dramatis sebab ini
sangat membantu mereka menyentuh emosi massa. Secara historis, sebetulnya
Ikhwan al-Shafa tidak termasuk ke dalam sekte manapun. Sebetulnya mereka hanya
berupaya dengan dibantu Islam dan filsafat Yunani, untuk menanamkan doktrin
spiritual yang dapat menggantikan agama-agama historis dan yang, pada waktu
yang sama, dapat diterima oleh semua orang serta tidak menyinggung perasaan
siapa pun.[6]
Ikhwan al-Shafa memandang agama sebagai sebuah din, yaitu
kebiasaan atau kepatuhan kepada seorang pemimpin yang telah diakui. Agama
sangat diperlukan sebagai sanksi sosial dalam mengatur massa, dalam mensucikan
jiwa, dan dikarenakan semua manusia sebelum lahirnya pun sudah bertabiat untuk
beragama dan berbuat kebajikan. Dalam pengertian ini agama adalah satu untuk
semua orang dan segala bangsa.
Berkenaan
dengan fakta pluralitas agama yang dibawa para nabi, Ikhwan ash-Shafa
mengatakan bahwa agama para nabi tidak saling bertentangan dalam aqidah. Para
nabi hanya berbeda dalam syariat ( hukum ), sebagaiman firman Allah SWT “
Dan bagi tiap-tiap umat dikalangan kaumku kamu jadikan satu syariat dan cara
hidup, bagi tiap umat satu cara beribadah untuk mereka laksanakan “. Ikhwan
ash-Shafa menyatakan bahwa perbedaan syari’at bukan hal yang mengkhawatirkan
sebab kondisi sosio-kultural umat tidak pernah sama dari masa kemasa.[7]
2.
Tuhan
dan Emanasi Alam
Seperti
halnya al-Farabi, Ikhwan al-Shafa juga menganut teori emanasi dalam
menggambarkan proses penciptaan alam. Namun faham emanasi mereka berbeda dengan
faham emanasi al-Farabi.
Adapun tentang ketuhanan, Ikhwan al-shafa
melandasi pikirannya kepada bilangan. Menurut mereka,ilmu bilangan adalah lidah
yang mempercakap tentang tauhid, al-tanzih
mediakan sifat dan tasybih serta serta dapat menolak manusia yang
mengingkari keesaan Tuhan.
Berkaitan
dengan penciptaan alam, pemikiran Ikhwan Ash-Shafa merupakan perpaduan antara
pendapat Aristoteles, Plotinus dan Mutakalimin. Bagi Ikhwan Ash-Shafa Tuhan
adalah pencipta dan mutlak Esa. Dengan kemauan sendiri Tuhan menciptakan Akal
pertama dan akal aktif secara emanasi. Dengan demikian, kalau Tuhan qadim dan baqi maka akal pertamapun demikian
halnya. Pada akal pertama ini lengkap segala potensi yang akan muncul pada
wujud berikutnya. Jadi, secara tidak langsung Tuhan berhubungan dengan alam
materi, sehingga tauhid dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Lengkapnya
rangakaian proses emanasi adalah :
1.
Akal
pertama atau akal aktif
2.
Jiwa
Universal
3.
Materi
pertama
4.
Potensi
Jiwa Universal
5.
Materi
absolute atau materi kedua
6.
Alam-alam
planet
7.
Anasir-anasir
alam terendah, yaitu air, udara, tanah
dan api
8.
Materi
gabungan, yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan dan hewan
3.
Jiwa
Manusia dan Hidup Sesudah Mati
Seperti
halnya al-Kindi, ar-Razi, dan al-Farabi, Ikhwan al-Shafa juga memandang manusia
terdiri drai dua unsure : jiwa yang bersifat imateri,dan raga yang merupakan
campuran dari tanah, air, udara dan api. Dalam salah satu risalah mereka
menyebutkan bahwa masuknya jiwa kedalam tubuh sebagai hukuman bagi jiwa yang
telah melakukan pelanggaran ( seperti dalam kisah Nabi Adam ). Kemudian menurut
Ikhwan al-Shafa kemurnia jiwa ini dijustifikasi oleh firman Tuhan. Dengan
pendidikan yang benar jiwa manusia akan menjadi suci. Jiwa yang suci menurut
Ikhwan al-Shafa sebagai malaikat dalam potensi.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Drajat, Amroeni . Filsafat Isla.(Jakarta : Erlangga 2012)
Dahlan,Abdul Aziz , Pemikiran
Falsafi dalam Islam (Jakarta:
Djambatan 2003)
Farrukh, Omar A. dalam M.M.
Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam,
(Bandung: Nuansa Cendekia, 2004)
Hanafi, Ahmad, Pengantar
Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
Nasution,Hasyimsyah.
Filsafat islam.(Jakarta : Gaya Media Pratama 1999)
[1]
Amroeni Drajat. Filsafat Islam.(Jakarta : Erlangga 2012)h. 37
[3] Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam, (Bandung : Nuansa
Cendikia 2004)h. 181
[4]
Hasyimsyah Nasution. Filsafat islam.(Jakarta : Gaya Media Pratama 1999)h.
46
[5]
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), h. 8
[6]
Op Cit. Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran
Filsafat Islam,h. 183.
[7]
Op Cit. Amroeni Drajat. Filsafat Islam.h.39
[8]
Ibid. Amroeni Drajat. Filsafat Islam.h. 41-42